BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dirumuskannya tujuan “kesehatan bagi semua pada tahun 2000”, semua negara di dunia berusaha untuk memperkuat dan memperluas sistem pemeliharaan kesehatan dasar (PKD) negaranya. Deklarasi Alma Ata. pada tahun 1978 memperkenalkan delapan unsur utama pemeliharaan kesehatan dasar, yaitu pendidikan tentang cara mengenali dan mengatasi masalah kesehatan beserta upaya pencegahan dan pengendaliaannya; peningkatan penyediaan makanan dan gizi yang cukup; penyediaan air bersih dan sanitasi dasar;pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana;imunisasi terhadap penyakit infeksi;pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat; pengobatan yang benar terhadap penyakit dan cedera yang umum;dan pengadaan obat yang penting. (Tarimo, 1994)
Program imunisasi yang saat ini telah jauh berkembang dengan tantangan yang semakin banyak. Pada awal pelaksanaan program imunisasi, para petugas berjuang keras agar setiap wilayah mampu menyediakan pelayanan imunisasi sesuai standar pelayanan baik melalui pelatihan, pemantauan wilayah setempat, supervisi checklist maupun perencanaan wilayah setempat.
Pada tahun 2000, selain upaya pemerataan UCI (Universal Child Imunization) di setiap desa, program imunisasi telah mentargetkan sasaran-sasaran spesifik yaitu eliminasi tetanus neonatorum, eradikasi polio, reduksi campak serta perluasan imunisasi hepatitis B. Disamping itu,yang tak kalah penting adalah bahwa program imunisasi harus dapat meningkatkan kualitas pelayanan untuk menjamin potensi vaksin serta penyuntikan yang aman. program imunisasi adalah bagian dari upaya pelayanan kesehatan dasar. Program ini juga merupakan bagian upaya mempercepat upaya pemutusan mata rantai penularan PD3I (Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, antara lain melalui kegiatan PIN (Pekan Imunisasi Nasional), imunisasi TT 5 dosis pada wanita usia subur, serta penanggulangan KLB (Kejadian Luar Biasa) dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi khususnya KLB campak. (Depkes dan Kesos RI,2000).
Salah satu indikator yang penting untuk mengetahui derajat kesehatan di suatu negara adalah banyaknya bayi (umur 0-1 tahun) yang meninggal per 1000 kelahiran hidup yang disebut AKB. Walaupun angka kelahiran hidup telah menurun 10,3% pada akhir pelita II menjadi 90,3% pada akhir pelita III 76%. Angka kelahiran bayi di Indonesia yang tertinggi di negara ASEAN. (Suraatmadja, 1991)
Angka kematian bayi di Propinsi Lampung pada tahun 2002 berjumlah 42 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi tahun 2003 berjumlah 55 bayi per 1000 kelahiran hidup. Hal ini belum mencapai target Lampung Sehat 2010 dan Indonesia sehat 2010 dengan angka kematian bayi 40 bayi per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004).
Angka kelahiran bayi yang tinggi ini perlu dilakukan upaya-upaya kesehatan yang lebih terarah supaya AKB di Indonesia dapat menurun. Pada penelitian penyebab kematian bayi di Indonesia ternyata 70% disebabkan karena diare, Radang akut pada saluran pernafasan, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jika program imunisasi dilaksanakan dengan baik dan menyeluruh 80% maka keefektifan imunisasi mencapai 85% sampai 90%. Lebih dari 115.000 kematian pada balita dapat dicegah. Hal ini tentu juga akan berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi (AKB). (Suraatmadja, 1991)
Imunisasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap serangan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Vaksin mutakhir aman namun tidak ada vaksin yang tanpa resiko. Maka, walaupun jarang sebagian orang dapat mengalami reaksi setelah imunisasi yang bersifat ringan sampai mengancam jiwa. Pada beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin. Pada kasus lain penyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin tetapi sebagian besar umumnya tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya apabila timbul Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) masyarakat selalu bersikap menolak untuk pemberian imunisasi berikutnya, sehingga anak tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan atau kematian. Untuk itu pelaporan KIPI yang tepat dan cepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantu pelaksanaan program mengatasi masalah di lapangan sehingga di masyarakat tidak resah dan tetap mendukung program imunisasi. (I.G.N Ranuh, dkk, 2001)
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai dengan gejala demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5 –15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke-5 – 6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resepien, timbul pada hari ke-7 – 10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Pada penelitian yang mencakup 6.000 anak berusia 1-2 tahun dilaporkan setelah vaksin MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari. Dalam masa 6 sampai 11 hari setelah imunisasi dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca imunisasi <>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar