Jumat, 06 Juni 2008

DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Demensia merupakan istilah umum untuk berbagai penyakit dan kondisi yang menyebabkan hilangnya memori yang progresif dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas harian. Penyakit ini merupakan penyakit dengan penurunan kemampuan kerja dari otak. Istilah demensia meliputi gejala-gejala seperti : gangguan dalam berfikir, menilai, berbahasa dan kemampuan dalam melakukan aktivitas harian secara normal. Demensia juga dikaitkan dengan masalah-masalah emosional dan perilaku, seperti : depresi, kecemasan, halusinasi, paranoia dan tingkah laku sosial yang tidak patut seperti sumpah serapah, menimbun barang-barang, berkelana dan pola tidur yang berubah.

Demensia terdiri dari gejala-gejala gangguan kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, akan tetapi bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap dari semua golongan usia, terutama dari golongan usia yang tua. Demensia sendiri harus dibedakan dari proses menua yang normal. Pada proses menua normal, pasien mungkin mengalami gangguan fungsi kognitif tetapi tidak progresif dan tidak menyebabkan gangguan fungsi pekerjaan dan sosial.

Pasien dengan demensia biasanya nanti dibawa ke rumah sakit oleh keluarga, pengasuh atau polisi bila mengeluh pasien telah berkeliaran, bingung, perilaku yang tak wajar, agresif, depresif, cemas dan perilaku yang didorong wahamnya.

Penyebab paling umum dari demensia adalah penyakit Alzheimer yang merupakan dua per tiga dari keseluruhan kausa demensia. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit dengan onset yang lambat dan gradual. Pertama kali menyerang bagian otak yang mengontrol memori dan selanjutnya bagian otak lain yang mengatur fungsi intelektual, emosional dan tingkah laku, sehingga seringkali disertai sindrom-sindrom perilaku seperti psikosis, agitasi dan depresi.

Penyakit Alzheimer ini biasanya timbul antara umur 50 dan 60 tahun. Terdapat degenerasi korteks yang difus pada otak di lapisan-lapisa luar terutama di daerah frontal dan temporal. Atropi ini dapat dilihat pada pneumo-ensefalogram dimana tampak sisterna ventrikel membesar serta banyak hawa di ruang subarakhnoid (giri mengecil dan sulkus-sulkus melebar).

EPIDEMIOLOGI
Penyakit Alzheimer mengenai sekitar 5 juta orang di Amerika Serikat dan lebih dari 30 juta orang di seluruh dunia. Peningkatan jumlah penderita penyakit Alzheimer di negara-negara industri adalah seiring dengan peningkatan angka harapan hidup usia tua yang kian pesat di negara-negara tersebut. Beberapa hal yang berkaitan dengan epidemiologi :

a. Faktor Demografi
Insiden demensia meningkat sesuai umur, dimana mengenai 15-20 % individu di atas usia 65 tahun, dan 45 % di atas usia 80 tahun. Berdasarkan gender, terdapat perbedaan frekuensi etiologi dimana untuk pria terdapat angka yang tinggi untuk demensia yang disebabkan oleh kelainan vaskular dibanding yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer. Secara keseluruhan frekuensi demensia adalah sama pada wanita dan pria, meski beberapa studi menunjukkan bahwa resiko untuk terkena Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibanding pria oleh karena hilangnya efek neurotropik dari estrogen pada wanita di usia menopause.

b. Tren
Secara dramatis, peningkatan angka harapan hidup juga meningkatkan angka penyakit demensia. Mereka yang memiliki keluarga dekat yang menderita demensia, memiliki kecendruangan lebih tinggi untuk terkena demensia dibandingkan populasi lainnya. Dan mereka yang menderita Down Syndrome cenderung untuk terkena Demensia Alzheimer suatu saat nanti.

GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang berkaitan dengan defisit kognitif multipel antara lain :
a. Gangguan memori, termasuk ketidakmampuan untuk mempelajari informasi yang baru atau me-recall informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Gangguan berbahasa (aphasia).
c. Gangguan dalam kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik meskipun fungsi organ motorik masih utuh (apraxia).
d. Gangguan dalam mengenali objek, meskipun fungsi organ sensorik masih utuh. (agnosia).
e. Gangguan dalam kemampuan untuk merencanakan, mengorganisasikan, berpikir sekuensial dan abstrak (gangguan fungsi eksekutif).

Dalam perjalanannya, penyakit Alzheimer dapat dibagi dalam 3 fase meliputi :

1. Fase awal (Ringan).
Pada tahap ini pasien mulai mengalami kehilangan memori maupun fungsi kognitif lainnya, tapi pasien masih dapat mengkompensasinya dan masih dapat berfungsi secara normal dan independen dengan sedikit pertolongan. Sikap apati dan kecenderungan menarik diri yang merupakan gambaran di semua fase, mulai timbul di fase ini. Ciri-cirinya :
a. Gangguan Kognitif dan memori :
• Bingung, lupa nama dan kata-kata dan menghindar berbicara untuk mencegah kesalahan.
• Mengulang pertanyaan dan kalimat.
• Lupa kisah hidup mereka sendiri dan peristiwa yang baru terjadi.
• Kurang mampu untuk mengorganisasikan dan merencanakan sesuatu serta untuk berpikir logik.
• Menarik diri dari lingkungan sosial dan tantangan-tantangan mental.
• Disorientasi waktu dan tempat ; dapat tersesat di tempat-tempat yang familiar.
b. Gangguan berkomunikasi mulai timbul :
• Mulai mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri.
• Kadang tidak mampu untuk berbicara dengan benar meski masih dapat berespon dan bereaksi terhadap apa yang dikatakan kepada mereka ataupun terhadap humor yang dilontarkan.
• Mengalami kesulitan untuk memahami bahan bacaan
c. Perubahan kepribadian mulai timbul :
• Apatis, menarik diri dan menghindari orang lain.
• Cemas, agitasi dan iritabel.
• Tidak sensitif terhadap perasaan orang lain
• Gampang marah terhadap hal-hal yang mendatangkan frustasi, rasa lelah, ataupun kejutan.
d. Perilaku yang aneh mulai timbul :
• Mencari dan menimbun benda-benda yang tidak berharga.
• Lupa makan secara teratur ataupun hanya makan satu jenis makanan saja.

2. Fase menengah (sedang).
Gambaran utama dari fase ini adalah penurunan fungsi dari berbagai sistem tubuh pada saat yang bersamaan dan membuat ketergantungan pada orang lain yang merawat menjadi meningkat. Gangguan kognitif dan memori makin memberat, kepribadian mulai berubah dan masalah-masalah fisik mulai meningkat. Muncul sikap agresif, halusinasi dan paranoid.

Ciri-cirinya :
a. Gangguan Kognitif dan memori yang signifikan:
• Lupa kisah hidupnya sendiri dan peristiwa yang baru terjadi..
• Mengalami kesulitan untuk mengingat nama dan wajah teman dan keluarga. Tapi masih dapat membedakan wajah yang familiar dengannya dari yang tidak dikenalnya.
• Masih mengingat nama sendiritapi kesulitan untuk mengingat alamat dan nomer telefon..
• Tidak dapat berpikir logik secara jernih. Tidak dapat mengatur pembicaraan mereka sendiri Tidak dapat lagi mengikuti instruksi oral maupun tulisan. Masalah keuangan dan aritmetika semakin meningkat..
• Terputus dari realitas. Tidak mengenal diri sendiri di depan cermin dan dapat menganggap suatu cerita di televisi sebagai suatu kenyataan..
• Disorientasi cuaca, hari dan waktu..
b. Gangguan berkomunikasi :
• Mengalami kesulitan dalam berbicara, memahami, membaca dan menulis.
• Mengulang-ulang cerita, kata-kata, pertanyaan dan bahasa tubuh.
• Masih dapat membaca tapi tidak berespon dengan tepat terhadap materi bacaannya.
• Kesulitan menyelesaikan kalimat
c. Perubahan kepribadian mulai signifikan :
• Apatis, menarik diri, curiga, paranoid (seperti menuduh pasangan berhianat atau anggota keluarga ada yang mencuri).
• Cemas, agitasi dan iritabel, agresif dan mengancam
• Halusinasi dan delusi muncul. Dapat melihat, mendengar, mencium dan mengecap sesuatu yang tidak nyata.
d. Perilaku aneh yang timbul :
• Perilaku seksual yang menyimpang (seperti : menganggap orang lain sebagai pasangannya dan bermasturbasi di depan umum)
• Berbicara sendiri. (hampir sepertiga hingga setengah penderita alzheimer berbicara sendiri)
• Perubahan siklus tidur yang normal ( terjaga sepnajang malam, tidur sepanjang siang)
e. Peningkatan dependensi :
• Dapat makan sendiri, tapi butuh bantuan untuk makan dan minum yang cukup
• Membutuhkan bantuan untuk berpakaian yang sesuai dengan cuaca atau situasi
• Membutuhkan bantuan untuk menyisir rambut, mandi, sikat gigi, dan menggunakan toilet.
• Tidak dapat lagi ditinggalkan sendiri dengan aman (dapat meracuni diri sendiri, membakar diri sendiri).
f. Penurunan kontrol sadar :
• Inkontinensia uri dan feses.
• Tidak merasa nyaman duduk di kursi atau di toilet.

3. Fase Lanjut (berat).
Pada fase ini dapat dijumpai kemunduran kepribadian, gejala kognittif dan fisik memberat. Tingkah laku yang liar di fase awal perkembangan penyakit berubah menjadi lebih tumpul. Beberap ciri khasnya :
a. Kognitif dan memori yang makin memburuk :
• Tidak mengenali lagi orang yang familiar, termasuk istri dan anggota keluarga yang lain.
b. Kemampuan komunikasi benar-benar lenyap :
• Tampak merasa tidak nyaman. Tapi dapat berteriak bila disentuh ataupun bergerak.
• Tidak mampu untuk tersenyum dan berkata-kata, atau berbicara cengan inkoheren.
• Tidak dapat menulis dan memahami material bacaan.
c. Kontrol sadar terhadap tubuh hilang :
• Tidak dapat mengontrol gerakan, otot-otot terasa kaku.
• Inkontinensia urin dan fecal komplit.
• Tidak dapat berjalan, berdiri, sit up, ataipunmengangkat kepala tanpa bantuan orang lain.
• Tidak dapat menelan makanan dengan mudah, sering tersedak .
d. Dependensi komplit terhadap orang lain :
• Membutuhkan bantuan di segala aktivitas hidupnya.
• Membuthkan perawatan sepanjang waktu.
e. Penurunan dearajat kesehatan yang bermakna :
• Sering terjadi infeksi, kejang-kejang, penurunan berat badan, kulit menjadi tipis dan gampang luka serta adanya refleks-refleks abnormal.
f. Tubuh melemah :
• Menolak makan atau minum, berhenti kencing, tidak dapat berespon terhadap lingkungan.
• Hanya dapat merasakan dingin dan rasa tidak nyaman, serta hanya berespon minimal terhadap sentuhan.
• Kelelahan dan tidur yang berlebihan.
• Organ-organ sensoris tidak berfungsi lagi ; bila organ sensoris masih berfungsi, otak tidak mampu menerima input.
g. Perubahan kepribadian :
• Apatis, menarik diri.
• Kepribadian yang tumpul.
h. Perilaku yang aneh :
• Menyentuh sesuatu benda berulang-ulang.

PATOFISIOLOGI
Patologi anatomi dari Penyakit Alzheimer meliputi dijumpainya Neurofibrillary Tangles (NFTs), plak senilis dan atropi serebrokorteks yang sebagian besar mengenai daerah asosiasi korteks khususnya pada aspek medial dari lobus temporal.

Meskipun adanya NFTs dan plak senilis merupakan karakteristik dari Alzheimer, mereka bukanlah suatu patognomonik. Sebab, dapat juga ditemukan pada berbagai penyakit neurodegeneratif lainnya yang berbeda dengan Alzheimer, seperti pada penyakit supranuklear palsy yang progresif dan demensia pugilistika dan pada proses penuaan normal. Distribusi NFTs dan plak senilis harus dalam jumlah yang signifikan dan menempati topograpfik yang khas untuk Alzheimer. NFTs dengan berat molekul yang rendah dan terdapat hanya di hippokampus, merupakan tanda dari proses penuaan yang normal. Tapi bila terdapat di daerah medial lobus temporal, meski hanya dalam jumlah yang kecil sudah merupakan suatu keadaaan yang abnormal.

Selain NFTs dan plak senilis, juga masih terdapat lesi lain yang dapat dijumpai pada Alzheimer yang diduga berperan dalam gangguan kognitif dan memori, meliputi : (1) Degenerasi granulovakuolar Shimkowich (2) Benang-benang neuropil Braak , serta (3) Degenerasi neuronal dan sinaptik.

Berdasarkan formulasi di atas, tampak bahwa mekanisme patofisiologis yang mendasari penyakit Alzheimer adalah terputusnya hubungan antar bagian-bagian korteks akibat hilangnya neuron pyramidal berukuran medium yang berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian tersebut, dan digantikan oleh lesi-lesi degeneratif yang bersifat toksik terhadap sel-sel neuron terutrama pada daerah hipokampus, korteks dan ganglia basalis. Hilangnya neuron-neuron yang bersifat kolinergik tersebut, meneyebabkan menurunnya kadar neurotransmitter asetilkolin di otak. Otak menjadi atropi dengan sulkus yang melebar dan terdapat peluasan ventrikel-ventrikel serebral.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Penyebab dari Alzheimer masih belum diketahui secara pasti, tapi perpaduan berbagai faktor resiko diduga sebagai penyebabnya. Faktor-faktor tersebut antara lain :

- Bertambahnya usia, riwayat keluarga yang positif, dan cedera kepala.
- Toksin dari lingkungan.
- Stres, kecemasan dan sikap pesimis yang berlebihan.
- Genetik :
- Lipoprotein E-epsilon 4 yang rapuh dan gampang mengalami mutasi.
- Protein prekursor amiloid (APP) pada kromosom 21.
- Trisomi kromosom 21 (down’s syndrom). Pasien dengan sindrom down cenderung terkena alzheimer onset dini pada usia di atas 30 tahun.
- Gen presenilin I yang terdapat di kromosom 14. Mutasi pada gen inilah yang berkaitan erat dengan Alzheimer familial.
- Gen presenilin II pada kromosom 1. Mutasi pada gen ini berkaitan erat dengan penyakit Alzheimer yang terjadi pada penduduk di daerah sungai Volga, Rusia.

PEDOMAN DIAGNOSIS
Pasien kemungkinan terkena demensia akibat Penyakit Alzheimer bila memenuhi kriteria untuk demensia dan memiliki perjalanan penyakit yang gradual dan bertahap. Meskipun untuk diagnosis yang pasti haruslah dengan konfirmasi secara histopatologi atau melalui pemeriksaan postmortem, kriteria berikut ini cukup memadai untuk menegakkan diagnosis.

Berdasarkan PPDGJ – III pedoman diagnostik untuk demensia :
• Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya piker yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil.
• Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness)
• Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.


Pedoman diagnostik untuk Demensia pada penyakit Alzheimer (F00.) :
• Terdapatnya gejala demensia
• Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata.
• Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang dapat menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin B12, defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematoma subdural).
• Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata, dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini di kemudian hari dapat bertumpang tindih).

Pedoman diagnostik untuk Demensia pada penyakit Alzheimer Onset Dini (F00.0) :
• Demensia yang onsetnya di bawah 65 tahun
• Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi)
• Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit Alzheimer yang merupakan faktor yang menyokong diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi.
Pedoman diagnostik untuk Demensia pada penyakit Alzheimer Onset Lambat (F00.1) :
• Sama tersebut di atas, hanya onset sesudah 65 tahundan perjalanan penyakit yang lamban dan biasanya dengan gangguan daya ingat sebagai gambaran utamanya.
Pedoman diagnostik untuk Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau campuran (atypical atau mixed type) (F00.2) :
• Yang tidak cocok dengan untuk F00.0 atau F00.1 Tipe campuran adalah Demensia Alzheimer + Vaskuler.
Selain itu , untuk yang tidak terklasifikasikan digolongkan dalam penyakit Alzheimer YTT (F00.9).

DIAGNOSIS BANDING
Demensia harus dibedakan dari proses menua normal, delirium dan depresi. Pada proses menua biasa, pasien mungkin mengalami gangguan fungsi kognitif, tetapi tidak progresif dan tidak menyebabkan gangguan fungsi pekerjaan dan sosial. Pada delirium, onsetnya cepat, akut dan seringkali dengan kesadaran yang naik turun. Meskipun demikian, pasien dengan demensia seringkali gejalanya bertumpang tindih dengan delirium dan depresi. Berikut perbandingan demensia, delirium, dan depresi dengan gangguan kognitif (pseudodemensia) :

Gambaran

Demensia

Delirium

Pseudodemensia

Umur

Riwayat

Awal

Lamanya

Perjalanan

Taraf kesadaran

Orientasi

Afek

Alam pikiran

Daya Ingat

Persepsi

Psikomotor

Tidur

Atensi & kesadaran

Reversibilitas

Biasanya lansia

Kronik

Lambat laun

Berbulan-bulan/bertahun-tahun

Kronik progresif

Normal

Intak pd awalnya

Labil tapi tidak cemas

Turun jumlahnya

Jgk pendek dan jgk panjang terganggu

Halusinasi jarang (kecuali fase berat)

Normal (kecuali fase berat)

Sedikit terganggu

Sedikit terganggu

Umumnya ireversibel

Tak spesifik

Akut

Cepat

Berhari-hari/berminggu-minggu

Naik turun

Naik turun

Terganggu,periodik

Cemas dan iritabel

Sering terganggu

Jgk pendek terganggu secara nyata

Halusinasi (terutama visual)

Retardasi, agitasi ,atau campuran

Terganggu

Amat terganggu

Sering reversibel

Tak spesifik

Gangguan afek

Samar

Berhari-hari/berminggu-minggu

Cepat

Distress

Apatis

Depresi

Turun jumlahnya

Agak terganggu

Kadang-kadang

Apatis

Terganggu

Apatis

Reversibel



Demensia pada Alzheimer juga berbeda dengan demensia akibat kelainan vaskuler, dimana pada kelainan vaskuler akan disertai gejala fokal (seperti defisit fungsi sensoris dan motoris fokal) pada tahap yang dini.

TERAPI
Pendekatan terapi pada penyakit Alzheimer didasarkan pada teori yang berkembang sesuai patogenesis dan patofisiologis penyakit dan kebutuhan untuk memperbaiki gejala-gejala kognitif dan tingkah laku yang mengalami gangguan, meskipun hingga saat ini belum ada terapi yang benar-benar secara meyakinkan mencegah Alzheimer ataupun memperlambat perjalanannya.
Terapi medis untuk Alzheimer meliputi :
 Obat-obatan Psikotropik dan intervensi perilaku
 Berbagai intervensi farmakologis dan perilaku dapat memperbaiki gejala klinik penyakit Alzheimer, seperti : kecemasan, agitasi dan perilaku psikotik, yang memang pendekatan terbaiknya adalah secara simptomatis saja. Obat-obatan ini sangat berguna meski keefektifannya sedang dan bersifat sementara saja dan tidak mampu untuk mencegah perkembangan penyakit dalam jangka waktu yang lama.
 Intervensi perilaku meliputi pendekatan patient centered ataupun melalui pelatihan tenaga yang siap memberikan bantuan perawatan terhadap pasien. Intervensi-intervensi ini dikombinasikan dengan farmakoterapi seperti penggunaan anxiolytic untuk anxietas dan agitasi, neuroleptik untuk keadaan psikotiknya dan anti depressan untuk keadaan depresinya.
 Beberapa obat psikotik yang dianjurkan untuk digunakan oleh banyak praktisi adalah : haloperidol, risperidone, olanzapine dan quetiapine. Obat-obatan ini diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif untuk meminimalisir efek samping, oleh karena sebagian besar pasien adalah mereka yang berusia lanjut.
 Cholinesterase Inhibitors (ChEIs).
 Strategi yang digunakan secara luas untuk mengatasi gejala-gejala alzheimer adalah mengganti kehilangan neurotransmitter asetilkolin di korteks serebri. Seperti diketahui, pada penyakit Alzheimer terdapat kehilangan yang substansial dari asetilkolin, penurunan jumlah enzim asetiltransferase (enzim untuk biosintetis asetilkolin) dan hilangnya neuron-neuron kolinergik di daerah subkortikal (nukleus basalis dan hippokampus).yang memiliki serabut projeksi ke korteks.
 Observasi ini menghasilkan teori bahwa manifestasi klinis dari alzheimer timbul sebagai akibat dari hilangnya persarafan kolinergik ke korteks serebri. Akibatnya, dikembangkanlah berbagai senyawa yang mampu menggantikan defek kolinergik ini dengan cara mengintervensi proses degradasi asetilkolin oleh asetilkolinesterase sinaptik (spesifik), ataupun oleh asetilkolinesterase non sinaptik (non spesifik) yang sering disebut sebagai butyrylkolinesterase (BuChE).
 Obat-obatan yang dianjurkan diantaranya adalah tacrine (cognex), donepezil (aricept), rivastigmine (exelon) dan galantamine (reminyl). Hanya tacrin dan rivastigminlah yang juga menghambat BuChE. Hal ini penting untuk kemanjuran terapi, sebab dalam perjalanan penyakit Alzheimer, BuChE akan meninggi dan di sintesis oleh berbagai lesi Alzheimer termasuk oleh plak senilis. Efek obat-oabtan ini antara lain : (1) Memperbaiki fungsi kognitif pada fase yang lanjut (2) Memperbaiki gangguan perilaku (3) Menolong pasien dengan demensia akibat gangguan vaskuler yang sering muncul bersamaan dengan Alzheimernya.
 Obat-obatan ini hanya berefek sementara sebab tidak memperbaiki penyebab dasar dari hilangnya asetilkolin di korteks, yakni degenerasi neuron yang tetap berlangsung secara progresif.
 Antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA). Merupakan obat generasi baru yang amat berguna pada Alzheimer fase lanjut. Kombinasi dengan asetilkolinesterase inhibitor terbukti lebih manjur. Mamantine adalah contoh obat golongan ini, yang juga dapat digunakan untuk keadaan neurodegeneratif lainnya seperti huntington disease, demensia terkait AIDS dan demensia vaskular.
 Anti radikal bebas. Dapat digunakan tocopherol (vitamin E) yang berfungsi memperbaiki kerusakan oksidatif akibat radikal bebas yang memberi kontribusi sebagai penyebab dari Alzheimer.
 Agen anti inflamasi (nonsteroid). Pemberian agen ini berdasarkan postulat bahwa berbagai lesi Alzheimer seperti plak senilis, membutuhkan suatu keadaan inflamasi agar dapat berkembang menjadi fase yang lebih berat. Berbagai studi menunjukkan adanya perbaikan dan perlambatan perkembangan Alzheimer setelah pemberian singkat obat anti inflamasi ini. Contoh obat adalah rofecoxib (vioxx) dan naproxen (aleve).
 Antibiotik. Obat ini berguna untuk mengurangi deposisi amiloid otak pada pasien Alzheimer.
 Estrogen. Amat berguna pada wanita menopause dimana produksi estrogennya mulai menurun. Seperti kita ketahui estrogen merupakan suatu neurotropik dan membantu melindungi otak dari proses-proses degeneratif.
 Aktivitas dan sikap hidup yang sehat. Aktivitas-aktivitas fisik dan mental sangat direkomendasikan pada pasien-pasien Alzheimer dengan memperlambat perkembangan penyakit dan mencegah proses kemunduran lebih lanjut. Pada tahap perkembangan demensia Alzheimer yang dini, sikap hidup yang sehat, baik fisik maupun psikologis mampu memberikan perlindungan dan daya tahan dari otak terhadap lesi yang mulai muncul dengan cara membangkitkan kompensasi dari bagian otak yang masih sehat dan melindunginya dari perkembangan penyakit yang progresif.

PROGNOSIS
Angka survival rata-rata setelah munculnya onset awal dari gejala Alzheimer adalah sekitar 8-10 tahun. Faktor-faktor yang membantu progresivitas penyakit adalah adanya gejala ekstrapiramidal, adanya gejala-gejala psikotik, onset pada usia muda dan disfungsi kognitif yang dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar